Harmoni Hidup di Warung Lugu
Oleh Cokorda Yudistira & Aloysius B Kurniawan
Ada warung bersahaja, tetapi bisa membaurkan orang dari berbagai kalangan yang belum saling mengenal. Tetamu warung puas bersantap, pemilik warung pun bahagia. Bahagia bagi mereka adalah hidup secukupnya, bukan berlebih-lebih.
Siang di awal musim kemarau di awal Juni, sangat terik, tetapi Nursiti (60) sekeluarga dari Solo, Jawa Tengah, rela menunggu di Warung Mak Beng. Nursiti bersama empat orang anggota keluarganya berdiri tepat di belakang sekelompok turis asal Jakarta yang tengah khusyuk menyantap makanan racikan Mak Beng. Tak jauh dari mereka, air laut Sanur, Bali, sedang surut.
Keluarga Nursiti yang tadinya tak saling kenal dengan sekelompok turis Jakarta itu mulai bercakap. ”Sudah berapa kali kemari, Bu?” tanya seorang lelaki bernama Darmawan. Nursiti menjawab, saban datang ke Bali, ia pasti singgah di Mak Beng. ”Wuah, sudah ndak terhitung...,” ujar Nursiti.
Begitulah warung Mak Beng mengalirkan kelezatan sejak tahun 1941 silam. Melalui makanan, warung itu menjadi ”situs” yang membuka komunikasi dan membaurkan siapa saja. Turis mancanegara, turis lokal, masyarakat setempat, dibawa ke dalam gugusan relasi yang meretas batas sosial. Para pengunjung pun diperlakukan sama: harus rela mengantre berdiri dan menunggu di dekat orang yang sedang asyik bersantap. Di bangku panjang duduk orang-orang yang (semula) tak saling kenal.
”Ini warung hebat, bisa membaurkan pengunjung yang tak saling kenal,” ujar Radhar Panca Dahana, budayawan yang sempat singgah dua hari berturut-turut ke Warung Mak Beng, awal Juni lalu.
Lugu
Kawasan turis yang terindustrialisasi seperti Bali cenderung terus bersolek, menyesuaikan dengan segala yang dipatok sebagai ”standar internasional”. Padahal, tak jarang turis justru memburu yang lugu. Warung Mak Beng menjadi situs keluguan yang bertahan lebih dari 70 tahun. Warung ini didirikan suami- istri I Putu Gede Wirya alias Nyoo Tik Gwan dan Ni Ketut Tjuki di tahun 1941. Panggilan akrab Ni Ketut Tjuki adalah Mak Beng. Kini warung itu dikelola oleh anak dan cucu dari Mak Beng, Ni Putu Sulastri (70) dan Agus Mahendra (38).
Kendati aneka restoran mentereng terus tumbuh di Bali, Warung Mak Beng tak berusaha bersolek. Hanya foto-foto selebriti yang pernah mampir dipajang seadanya. Harga menu pun tak didongkrak mengada-ada. Semua menu nyaris sama sejak sedia kala. Seperti sop ikan kekuningan dengan aroma rempah yang kuat dan irisan ketimun di dalamnya. ”Kami tak pernah mengubah resep. Ikan laut harus segar,” ujar Sulastri, yang mengaku pernah menutup warung karena tak ada pasokan ikan yang benar-benar segar.
Eksotika semacam itu juga ditemui di Yogyakarta.
Dapur milik Sumarwanto di Kampung Janturan dipenuhi antrean pemburu gudeg seiring malam meniti pagi. Sumarwanto awalnya tak mengira, dapur yang selalu menjadi tempat terbelakang dan disembunyikan justru menjadi tempat yang ramai dikunjungi pada dini hari sejak tahun 1980-an. Tak heran, penggemarnya menyebut gudeg masakannya sebagai gudeg pawon, yakni gudeg yang ditemui di pawon atau dapur.
Keluguan serupa juga bisa ditemui di warung brongkos alkid di Alun-alun Kidul Keraton Yogyakarta. Masakan ini sepintas mirip rawon, tetapi dengan kuah lebih kental dari santan kelapa berbumbu aneka rempah. Selain potongan daging sapi, biasanya juga disertai kacang tholo dan tahu.
Warung ini didirikan pasangan suami-istri Adyo Utomo dan Sardiyem di tahun 1975. Kini sang anak, Tri Suparmi (49), tetap setia merawat warung brongkos itu. ”Sebenarnya makanan yang kami jual macam-macam. Namun, sebagian besar pengunjung suka brongkosnya, jadi mereka sebut warung brongkos,” tutur Tri.
”Stagnan”
Meski puluhan tahun warung brongkos itu begitu-begitu saja, hal itu sudah membahagiakan Tri. Bahagia baginya adalah cukup, bukan berlebih-lebih. Apa yang dinilai sebagai kesuksesan bisnis ala perspektif modern tidak menggodanya, apalagi membuat jiwanya tertuntut dan gelisah. Tri mengaku bahagia hanya dengan merawat apa yang sudah ditinggalkan orangtuanya.
Demi merawat sejarah hidup keluarganya, Tri juga menghidupkan kembali sajian es campur di warungnya. Tahun 1960-an, kedua orangtuanya sempat menjajakan es campur berkeliling Yogyakarta, sebelum akhirnya ”sukses” mendirikan warung brongkos.
Sumarwanto juga menjaga nasihat neneknya, Mbah Prapto yang mengawali keberadaan Gudeg Pawon. Eksotika Gudeg Pawon mendatangkan gelombang pelanggan mulai dari turis dari sejumlah kota hingga selebriti Jakarta. Walau kian ramai digandrungi, Sumarwanto enggan sedikit pun menambah kapasitas jualannya.
Setiap hari Sumarwanto mengolah kuantitas bahan baku yang sama: 20 ekor ayam, 250 butir telur, 10 kilogram nangka muda, dan 20 kilogram beras. Keengganan Sumarwanto tersebut bukanlah semata perilaku pasif yang enggan maju dalam perspektif modern. Melainkan ia berpegang pada filosofi ”eling”, demi terhindar dari hasrat serakah.
”Pengunjung ramai atau sepi, setiap hari kami selalu memasak sejumlah itu. Sejak awal nenek kami berpesan, dadi wong rasah sugih-sugih, rasah mlarat-mlarat. Sing penting cukup (jadi orang jangan terlalu kaya, jangan pula terlalu miskin. Yang penting cukup),” ujar Sumarwanto, menirukan nasihat Mbah Prapto.
Rongga perut rakyat kecil ini senantiasa paham makna sejati dari kata cukup -- bukan serakah. (CAN/SF)
Ditulis oleh Gilang Biantara
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar