Suka Makan Bacang Yuk, ke Festival Bacang!
Makanan khas Tionghoa, bacang, kini telah beradaptasi dengan budaya asli berbagai daerah di Indonesia. Untuk melihat seperti apa aneka wujud bacang beserta isinya, pada 22 - 24 Juni 2012 nanti akan digelar Festival Bacang di Gedung Candra Naya, yang merupakan bangunan mixed use Green Central City (GCC), Jakarta Pusat.
Selama berlangsungnya festival di akhir pekan ini, GCC akan memperkenalkan berbagai jenis bacang yang ada di Indonesia. Aneka bacang ini bakal didatangkan dari berbagai daerah, baik dari Jakarta, Semarang, dan daerah-daerah lainnya.
Festival selama tiga hari itu juga akan diramaikan dengan Pameran Perahu Naga, bazar makan an khas kawasan Pecinan, pertunjukan seni dan budaya, dan beragam lomba seperti lomba makan bacang, lomba mendirikan telur, lomba melukis lampion, serta diskusi buku dan demonstrasi memasak bacang.
Chief Operating Officer GCC, Martono Hadipranoto, mengatakan pihaknya sangat mendukung dilaksanakannya Festival Bacang di Candra Naya. Dukungan tersebut sebagai wujud komitmen menghidupkan warisan budaya dan sejarah di bangunan peninggalan abad ke-19 ini.
"GCC ini dibangun dengan komitmen tinggi terhadap peninggalan sejarah. Tujuan festival ini sendiri untuk kembali memperkenalkan acara perayaan Peh Cun," kata Martono.
Pengamat budaya China, David Kwa, mengatakan makan an khas bacang dikenal di Indonesia seiring masuknya gelombang pendatang dari daratan China ratusan tahun silam. Dari berbagai legenda yang hidup di kalangan China peranakan, perayaan Peh Cun merupakan satu dari tiga perayaan terpenting dalam kalender China setelah Imlek atau tahun baru dan hari raya Kue Bulan atau Tiong Jiu.
Martono mengatakan, berdasarkan keyakinan masyarakat Tionghoa, pada tanggal 5 bulan 5 kalender lunar adalah hari Duan Wu. Di Indonesia, hari tersebut dikenal sebagai Peh Cun yang terkenal dengan makan an bacangnya.
"Menurut tradisi orang China, ada empat hal ketika orang Tionghoa merayakan Duan Wu, yakni membuat dan memakan bacang, mendirikan telur, mengadakan lomba perahu naga, serta mandi di tengah hari," kata penulis buku 'Peranakan Tionghoa Indonesia' ini.
Tokoh masyarakat Tionghoa di Jakarta, Hartati Ardiarsa, mengatakan, ketika masuk ke Indonesia, budaya China ikut melebur dan mengalami proses akulturasi dengan budaya lokal. Ia mengakui, perayaan Peh Cun di Indonesia kini banyak berubah. Meski demikian, hal paling penting adalah bagaimana generasi penerus mampu menjadikan perayaan tradisional itu menjadi sesuatu yang bernilai tinggi.
Ditulis oleh Gilang Biantara
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar