Ketika Wisata Tak Butuh Formalitas
MELUNCUR 20 kilometer di sebelah barat Kota Yogyakarta menuju Kecamatan Sentolo, semerbak aroma alam pedesaan mulai terasa. Di sana terbentang persawahan hijau dengan latar belakang gugusan Pegunungan Menoreh nan menantang.
Di pematang sawah, simbok-simbok petani yang berlepotan lumpur di sawah tidak henti-hentinya menebarkan senyuman dan sapaan. Suasana alam pedesaan yang apa adanya dan jauh dari formalitas ini justru menjadi daya tarik luar biasa bagi sejumlah wisatawan mancanegara.
Sentolo tepat berada di sebelah barat Sungai Progo yang memisahkan Kecamatan Sentolo (Kabupaten Kulon Progo) dan Kecamatan Sedayu (Kabupaten Bantul). Akses transportasi kedua daerah tersebut dihubungkan melalui Jembatan Bantar, yang pada zaman penjajahan Belanda menjadi salah satu tempat pertempuran sengit antara tentara republik dan tentara Belanda.
Meski tak begitu jauh dari pusat Kota Yogyakarta, keaslian alam pedesaan di Sentolo masih sangat terasa. Di tempat ini bisa ditemukan panorama persawahan luas dengan hiasan Pegunungan Menoreh di sisi barat, kerajinan tenun tradisional, industri gamelan, pembuatan tempe serta ketupat dan telur asin, hingga pasar tradisional Sentolo.
Secara geografis, lanskap daerah ini relatif datar sehingga siapa pun bisa leluasa menyusup hingga ke pelosok-pelosok kampung. Di Dusun Bantar, Kelurahan Banguncipto, Sentolo, membujur jembatan bersejarah, Jembatan Bantar, yang kini tidak dipakai lagi. Tak jauh dari sana, ada Dusun Beling yang sebagian besar berupa bentangan sawah luas dengan sistem irigasi tradisional dan aktivitas pertanian.
Berdekatan dengan Dusun Beling terdapat Dusun Ploso yang sebagian penduduknya adalah perajin tenun tradisional setagen atau ikat pinggang kebaya. Dari kejauhan, suasana kampung ini terdengar unik karena suara gemertak alat tenun tradisional manual.
Sedikit bergeser ke selatan, ada pasar tradisional Sentolo di Dusun Kali Bondol. Sama seperti pasar tradisional lainnya, proses transaksi tawar-menawar antara penjual dan pembeli di pasar ini sangat terasa. Selain pasar tradisional, di dusun ini juga terdapat perajin gamelan.
Suasana khas pedesaan ini rupanya sangat menarik bagi para wisatawan mancanegara. Sejak tahun 2008, ribuan wisatawan mancanegara silih berganti datang ke kampung ini.
”Keramahtamahan warga desa mampu menggerakkan wisatawan untuk tinggal. Ini benar-benar potensi wisata luar biasa karena tak membutuhkan modal sepeser pun. Modal utamanya hanyalah alam pedesaan, kejujuran, dan sapaan,” kata Towil, penggagas wisata desa dengan bersepeda Dorpentocht op de Fiets di Dusun Bantar, Desa Banguncipto, Sentolo, Kulon Progo, pertengahan Mei 2012.
Berawal dari ide teman pemandu wisata senior asal Belanda, Carel Van Becom, Towil mulai mengembangkan wisata minat khusus, yaitu keliling desa dengan bersepeda. Bagi masyarakat lokal, gagasan ini mungkin hal biasa, tetapi bagi para wisatawan mancanegara yang tak pernah bersentuhan dengan alam pedesaan, ini sesuatu yang luar biasa. Melalui Carel Van Becom pula, Towil mendapatkan jaringan wisatawan asing dari beragam negara, seperti Belanda, Belgia, dan Suriname.
Konsep wisata keliling desa sambil bersepeda sangat sederhana. Kuncinya sangat sederhana, yaitu suasana asli pedesaan dan sedikit kemampuan berbahasa asing bagi para pemandu wisata.
Untuk membuka percakapan dengan para tamu asing, Towil biasanya masuk melalui pembicaraan seputar sepeda onthel kuno miliknya yang dahulu kala biasa dipakai orang Belanda pada zaman kolonial. Dari situ, komunikasi dengan para wisatawan mancanegara mulai terjalin.
Sambil bercerita, para wisatawan kemudian diajak berkeliling kampung melihat pemandangan alam. Di jalan, mereka bertemu dengan macam-macam hal dan pemandu bisa menjelaskannya, mulai dari tanaman kunir, kencur, serai, laos, dan bahkan rumput putri malu.
”Mereka (wisatawan mancanegara) tidak pernah menemukannya di luar negeri. Hal-hal yang bagi kita sepele justru sangat istimewa untuk mereka,” kata Towil.
Rute perjalanan yang biasa ditempuh para wisatawan sejauh 6 kilometer meliputi beberapa wilayah pedesaan. Lokasi awal perjalanan biasanya dimulai dari Dusun Bantar yang terkenal dengan Jembatan Bantar yang bersejarah, kemudian menuju kompleks persawahan di Dusun Beling.
Sampai di sawah, biasanya para wisatawan beristirahat sejenak sambil makan jajanan pasar, seperti lemper, tempe goreng, tahu bacem, ketela goreng, kipo, wajik, dan minum air kelapa atau degan. Agar wisatawan merasa nyaman dengan makan an lokal tersebut, Towil dan lima rekan pendamping tak bosan-bosan menjelaskan bahan-bahan makan an yang disantap.
Semua makan an tersebut dijelaskan satu per satu bahan dasarnya yang berasal dari alam, tidak mengandung zat kimia dan aman bagi kesehatan. Dengan penjelasan tersebut, para wisatawan biasanya mau memahami dan kemudian merasa aman menikmati makan an apa pun yang disiapkan.
Di perjalanan, wisatawan bisa menemukan aneka macam aktivitas penduduk, mulai dari pembuatan tempe, ketupat, telur asin, pemintalan tenun, pembuatan gamelan, penggilingan padi, sampai dengan melihat kereta api yang melintas di sebelah utara Jalan Raya Wates. Dengan menyusuri setiap sudut desa, wisatawan bisa berinteraksi langsung dengan alam dan penduduk desa.
Dua wisatawan asing asal Belanda, Arcje dan Wil, bahkan pernah tinggal satu bulan penuh di Dusun Bantar. Setiap hari mereka berinteraksi dengan penduduk-penduduk sekitar karena memang suasana itu yang ingin mereka rasakan.
Enam tahun lalu, Towil hanya punya dua unit sepeda onthel untuk melayani para tamu-tamu asing. Namun, kini, sepeda onthel Towil telah bertambah menjadi 70 unit dan siap mengantar wisatawan asing dari mana pun.
Dari ujung barat Yogyakarta bisa dibuktikan bahwa pariwisata tak membutuhkan modal besar atau pelayanan super mahal. Pariwisata juga tak perlu formalitas, tetapi justru otentisitas. Hanya berbekal sepeda onthel, sapaan ramah, dan sedikit kemampuan berbahasa asing, wisatawan ternyata bisa berdatangan. (Aloysius B Kurniawan)
Ditulis oleh Gilang Biantara
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar