Labuan Bajo Tak Hanya Komodo, Ada Caci...
KOMPAS.com — Betul, kalau ingin melihat komodo di habitatnya, Pulau Rinca dan Pulau Komodo, kota terdekat untuk menjangkau binatang purba tersebut adalah Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Komodo, primadona pariwisata NTT itu, kini menjadi salah satu dari New 7 Wonders of Nature. Dampak positifnya, kota di ujung barat Pulau Flores ini selalu diramaikan kedatangan wisatawan dalam dan luar negeri. Pesawat yang mendarat di Bandar Udara Komodo hampir dipastikan selalu penuh penumpang, apalagi di musim libur. Tujuannya sebagian besar ingin melihat langsung komodo di alam aslinya.
Namun, sebelum melihat komodo, Kota Labuan Bajo juga memiliki beragam obyek wisata yang tak kalah menarik untuk dikunjungi. Sebut saja Kampung Melo. Kampung Melo yang terletak di Desa Liang Ndara, Kecamatan Sanonggoang, merupakan kampung terdekat untuk bisa menyaksikan kesenian tradisional, yakni Caci.
Penasaran dengan pertunjukan Caci, Rabu (30/5/2012) pagi, rombongan Tim Adira Beauty X-Pedition meluncur ke Kampung Melo yang berjarak sekitar 22 km dari pusat kota. "Tidak jauh Bapak, tak sampai setengah jam dari Labuan Bajo," kata Jack, pemandu wisata yang sudah sepuluh tahun menggeluti pekerjaan menemani wisatawan mengunjungi obyek wisata di Kabupaten Manggarai Barat.
Selama perjalanan menuju Kampung Melo, iring-iringan mobil melewati jalan lintas provinsi, jalan yang hanya cukup untuk berpapasan dua mobil. Perjalanan melintasi jalan lintas Flores ini terbilang sangat lancar dan tidak ada hambatan sama sekali. Sangat menyenangkan, jauh dari kemacetan seperti di Jakarta. Setelah melewati Kota Labuan Bajo, selanjutnya jalanan menanjak dan pemandangan di kiri-kanan jalan dipenuhi pepohonan yang menghijau.
"Itu Kampung Melo. Sebentar lagi kita sampai," kata Jack sambil tangannya menunjuk arah depan di mana sudah ada spanduk selamat datang di Kampung Melo yang siap menyambut rombongan Tim Adira Beauty X-Pedition yang saat itu tengah memasuki etape ketiga, yakni menjelajahi bumi Flores. Adira Beauty X-Pedition memulai perjalanan wisata ini dari Tugu Nol Kilometer, Sabang, Aceh. Etape terakhir adalah Papua pada awal Juli 2012.
Nah, sebelum memasuki Kampung Melo, rombongan disambut ketua adat di pa'ang atau pintu masuk kampung serta diiringi alunan musik tradisional. Setiap tamu disambut secara khusus dengan mendapatkan selendang khas Kampung Melo. Lokasi Kampung Melo sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Jika cuaca cerah, pemandangan Kota Labuan Bajo dari atas bukit ini begitu cantik.
Musik tradisional masih terus mengiringi para tamu menaiki anak tangga satu demi satu memasuki rumah adat yang dinamakan Rumah Gendang. Ini sekaligus mencerminkan bahwa tuan rumah sangat gembira dan dengan hangat menyambut tamunya.
Di halaman Rumah Gendang, tim Adira Beauty X-Pedition duduk di halaman dan mulailah ketua adat menggelar serangkaian ritual untuk menyambut tamu. Ketua adat juga mendoakan dan memberikan kata-kata ucapan dalam bahasa adat, tanda menerima kami sebagai tamunya. Bagi masyarakat Manggarai Barat, wajib hukumnya menyambut tamu dengan baik dan ramah. Bila sampai ada tamu yang tidak disambut dengan baik, artinya mereka gagal menjaga adat Manggarai Barat. Semua rangkaian prosesi adat ini menunjukkan bahwa Ketua Adat Kampung Melo menerima kunjungan tamu dengan senang hati dan sudah menganggap tamu sebagai saudara.
Sebagai bentuk tanda keakraban, para tamu akan diberikan sopi atau tuak lokal serta pinang sirih. Sopi yang disajikan adalah hasil olahan penduduk Kampung Melo dari pohon enau dan sebagai sopan-santun, para tamu wajib meminumnya. Jangan ragu untuk meneguk sopi, karena rasanya manis. Seusai penerimaan secara adat, tamu akan dipersilakan memasuki Rumah Gendang dan setelah itu dipersilakan duduk di halaman rumah untuk menyaksikan tarian Caci.
Di halaman, beberapa penduduk pria Kampung Melo telah siap-siap dengan kostum dan peralatan tarian Caci, yakni kain yang melingkari pinggang, lonceng yang melingkari pergelangan kaki dan pinggul, tameng, cambuk, dan tongkat. Cambuk yang digunakan terbuat dari rotan dan pegangan kulit. Tameng terbuat dari bambu rotan dan kulit kambing.
Atraksi Caci terdiri dari beberapa babak, di mana setiap babak terdiri dari dua pemain yang secara bergantian akan beralih peran sebagai penyerang dan yang diserang. Ketika melakukan penyerangan, sang penyerang memegang cambuk dan segera mengambil ancang-ancang, memutar-mutar cambuk di udara, melompat-lompat, mengumpulkan seluruh tenaga untuk melakukan serangan dengan mencambuk lawan. Gaya si penyerang yang mengambil ancang-ancang membuat lonceng yang melilit pinggang dan kaki begitu berisik, membuat penonton menahan napas, ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi. Sementara yang diserang telah melindungi kepalanya dengan topi dan menutupi wajahnya dengan kain dan tak lupa memegang tameng untuk menahan diri dari serangan.
Alunan musik pun semakin meningkat, mencekam, sekaligus menggairahkan suasana. Bumi makin bergetar dan tiba-tiba.... jeddarrrrrr!!! Suara cambuk yang ujungnya terbuat dari kulit kerbau dan telah dikeringkan itu menggelegar serta mengagetkan tamu yang menyaksikan. Tak sedikit dari mereka yang menutup wajahnya saat melihat si penyerang mencambuk lawannya dengan sekuat tenaga.
Lantas apa yang terjadi? Meskipun mendapatkan cambuk dengan sangat kuat dan membuat luka memar di pinggang dan lengan, tetapi yang diserang malah tertawa-tawa dan menari-nari dengan riangnya. "Ooooiiiii.... maantaappp...." teriak yang diserang sembari tersenyum dan menari, seolah-olah cambukan yang diperolehnya tidak berarti sama sekali. Masing-masing dari mereka merasa gembira dan damai. Babak berikutnya, yang diserang akan berganti posisi sebagai penyerang. Demikian hal itu dilakukan dengan pasangan yang lain.
Meskipun tampak seperti perkelahian serius serta menimbulkan luka, tidak ada rasa dendam antara keduanya. Mereka tetap tersenyum sambil terus menari-nari diiringi alunan musik tradisonal.
Menurut Jack, tarian Caci bukan suatu pertandingan untuk mencari yang menang atau yang kalah. Caci merupakan wujud puji dan syukur kepada Tuhan dan leluhur atas keberhasilan, baik hasil panen, perkembangan penduduk, serta kesehatan jasmani dan rohani. Bagian tubuh yang terkena cambuk mempunyai arti yang penting. Bila punggung lawan terkena cambuk, itu pertanda baik, panen akan menjanjikan. "Darah mengalir dari luka yang kena pecutan cambuk merupakan persembahan kepada leluhur untuk kesuburan tanah," katanya.
Setelah tarian Caci berakhir, dilanjutkan dengan tarian yang dibawakan penduduk perempuan Kampung Melo, yakni Ndundu Ndake dan Tetek Alu. Tarian Ndundu Ndake merupakan tarian persembahan kepada tamu untuk mengekspresikan rasa syukur, terima kasih, dan kebahagiaan.
Selain Ndundu Ndake, ada lagi Tetek Alu, sebuah permainan tradisional di mana kaum perempuan menggerak-gerakkan bambu-bambu dan ada yang menari sambil menghindari jepitan bambu. Para tamu akan diajak bergembira menikmati permainan tradisional dengan iringan musik gendang. Presdir Adira Finance Willy Suwandi Dharma saat pertama bermain Tetek Alu agak kikuk juga. Namun, setelah menemukan irama yang pas, Willy mulai sedikit piawai melompat-lompat menghindari jepitan bambu. Kuncinya cuma satu, jangan sampai kaki Anda terjepit bambu.
Sebelum meninggalkan tempat, ketua adat Kampung Melo mengatakan, "Kami tahu perjalanan Bapak ke puncak Melo. Kami gembira terima Bapak. Semoga tak ada halangan di jalan. Semoga Bapak kembali dengan aman dan bahagia...."
Ditulis oleh Gilang Biantara
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar